Kuas dari bulu babi jadi bahan yang diperbincangkan saat ini. Realitanya, kuas semacam ini sudah banyak tersebar. Mungkin karena bulu babi dijual dengan harga relatif murah sehingga banyak digunakan untuk kuas. Kuas ini digunakan untuk berbagai keperluan termasuk pula untuk mengoles kue, di antara kuas tersebut adalah yang berlabel “bristle”. Apakah kuas seperti ini boleh digunakan? Bagaimana dengan bulu babi itu sendiri, apakah najis?
Menurut mayoritas ulama, bulu atau rambut babi itu najis, maka tidak boleh digunakan karena sama saja menggunakan sesuatu yang najis secara zatnya. Ulama Hanafiyah masih membolehkan penggunaannya jika dalam keadaan darurat. Sedangkan ulama Malikiyah menganggap bahwa bulu babi itu suci. Jika bulu tersebut dipotong, maka boleh saja digunakan, meskipun terpotongnya setelah babi tersebut mati. Alasannya, bulu atau rambut bukanlah bagian yang memiliki kehidupan. Sesuatu yang tidak memiliki kehidupan, maka tidaklah najis ketika mati. Namun dianjurkan untuk mencuci bulu tersebut jika ragu akan suci atau najisnya. Sedangkan jika bulu babi tersebut dicabut, maka tidaklah suci.
Jadi, ulama Malikiyah bersendirian dalam mengatakan sucinya bulu babi, berbeda dengan pendapat mayoritas ulama madzhab. Menurut Malikiyah, bila bulu tersebut dipotong, bukan dicabut, maka bulu tersebut tetap suci. Beda halnya jika dicabut karena akar dari tubuh babi tersebut najis, sedangkan atasnya tetap suci. Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَى حِينٍ
“Dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu)” (QS. An Nahl: 80). Ayat ini disebutkan dalam rangka menjelaskan nikmat yang telah diberi. Yang dimaksudkan dalam ayat ini mencukup bulu ketika masih hidup ataupun telah mati. Artinya, sama-sama kedua jenis bulu tersebut masih boleh digunakan.
Ulama Malikiyah juga berdalil bahwa bulu adalah sesuatu yang tidak memiliki kehidupan. Najis hanyalah berpengaruh pada bagian tubuh yang bisa berkembang seperti daging, beda halnya dengan bulu atau juga kuku. Asalnya, bulu dari bangkai tetap suci karena bulu tidak bisa merasa atau tidak bisa menderita sakit sehingga tidak bisa dihukumi najis ketika mati. (Lihat pembahasan di atas dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 20: 35 dan 26: 102).
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Pendapat terkuat, setiap bulu itu suci termasuk bulu anjing, babi, dan selainnya, berbeda halnya dengan air liur. Oleh karenanya bulu anjing yang basah jika terkena baju seseorang, maka tidak ada kewajiban apa-apa. Sebagaimana hal ini yang jadi pegangan mayoritas ulama dalam madzhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad dalam salah satu dari dua pendapatnya. Dikatakan demikian karena hukum asal sesuatu adalah suci. Tidak boleh dikatakan najis atau haram sampai ada dalil. … Bulu sama sekali tidaklah terpengaruh dengan bekas-bekas najis, maka sangat sulit jika bulu tersebut jadi najis. … Setiap hewan yang dikatakan najis, maka pembicaraanya pun sama dalam masalah bulu dengan yang dibicarakan pada bulu anjing. … Namun yang lebih tepat bahwa bulu hewan najis itu suci.” (Majmu’ Al Fatawa, 21: 617-619).
Lihat fatwa Ibnu Taimiyah di atas secara lebih lengkap dalam bahasan “Apakah Seluruh Tubuh Anjing Najis?” Berikut kami nukil sebagiannya:
[Jika ada yang mengatakan air kencing lebih kotor dari air liur anjing]
Jika ada yang mengatakan bahwa air kencing itu lebih kotor dari air liur, maka ini tergantung sudut pandang masing-masing (mutawajjihan).
[Sanggahan untuk yang menyamakan bulu dan air liur]
Adapun menyatakan sama najisnya antara bulu dan air liur, maka itu suatu hal yang tidak mungkin karena air liur keluar dari dalam tubuh. Hal ini berbeda dengan bulu yang tumbuh di kulit.
Semua pakar fiqih juga telah membedakan kedua hal ini. Mayoritas ulama mengatakan bahwa bulu bangkai itu suci, berbeda dengan air liurnya.
Imam Syafi’i dan mayoritas pengikutnya mengatakan bahwa tanaman yang tumbuh di tanah yang najis tetap suci.
Oleh karena itu, sebagaimana tumbuhan yang tumbuh di tanah yang najis tetap suci, begitu pula bulu anjing yang tumbuh di kulit yang najis lebih tepat dikatakan suci. Berbeda dengan tanaman, dia bisa mendapatkan pengaruh dari tanah yang najis, sedangkan bulu adalah sesuatu yang padat (keras) sehingga tidak mungkin dipengaruhi layaknya tanah.
Para pengikut Imam Ahmad seperti Ibnu ‘Aqil dan lainnya mengatakan bahwa tanaman (yang tumbuh di tanah yang najis) tetap suci, lebih-lebih lagi bulu hewan. Barangsiapa menyatakan tanaman tersebut najis maka ada perbedaan di antara keduanya sebagaimana yang telah disebutkan.
Jadi, setiap hewan yang dikatakan najis, maka pembicaraan mengenai rambut dan bulunya sebagaimana pembicaraan pada bulu anjing.
[Dari penjelasan beliau ini, berarti bulu babi juga suci sebagaimana bulu anjing]
[Bagaimana dengan bulu hewan buas, najis ataukah tidak?]
Apabila dikatakan bahwa hewan buas yang bertaring dan burung yang bercakar kecuali kucing dan selainnya yang serupa adalah najis -sebagaimana ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu para ulama ‘Iraq dan juga salah satu dari dua pendapat Imam Ahmad-, maka pembicaraan mengenai bulu dan rambutnya terdapat perselisihan, apakah najis atau tidak?
Imam Ahmad memiliki dua pendapat dalam masalah ini :
Pendapat pertama Imam Ahmad, bulu hewan-hewan tersebut suci. Inilah pendapat mayoritas ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Asy Syafi’i dan Imam Malik.
Pendapat kedua Imam Ahmad, bulu hewan-hewan tersebut najis sebagaimana yang dipilih oleh mayoritas ulama-ulama belakangan dari Hanabilah.
Pendapat yang benar adalah bahwa bulu hewan-hewan tersebut suci sebagaimana penjelasan yang telah lewat. (selesai nukilannya)
—
Kesimpulannya sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Sholih Al Munajjid, tidak mengapa menggunakan kuas dari bulu babi. Tidak ada masalah jika kuas tersebut dalam keadaan basah lalu menyentuh atau mengoles yang lain. Akan tetapi, menghindarinya itu lebih baik supaya keluar dari perselisihan para ulama. Wallahu a’lam. (Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 175729). Itulah sikap wara’ terbaik, yaitu menghindari kuas dari bulu babi itu lebih baik karena mayoritas ulama melarang penggunaannya.
Semoga sajian ini semakin mencerahkan kita dan membuat kita terus semangat menggali ilmu dari para ulama. Belajar itu sangat perlu, tidak langsung mudah menghukumi seperti yang dilakukan oleh sebagian pakar ilmu sains padahal mereka masih minim ilmu agama dan enggan untuk menelusuri fikih Islam secara lebih mendalam.
Hanya Allah yang memberi taufik.
—
@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 7 Rajab 1434 H
Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat